Terlahir Perempuan
Sendiri, sepi
dan sunyi. Seakan tak ada lagi dari semua yang berpihak padanya. Kosong. Hanya
pikiran hampa, yang seolah-olah terus menginginkan andai saja ada keajaiban.
Andai saja, andai saja. Yang hanyalah terus saja meratapi, merutuki atas
keadaan yang sudah terlanjur menimpanya.
Sania. Yang
hanyalah merupakan salah satu perempuan yang hidup di dunia ini. Dilahirkan di
kampung kecil dan rumah dengan sederhananya bersama dengan keluarga. Tanpa bisa
memilih sendiri, takdirlah yang sudah membuatnya terlahir sebagai perempuan.
“Sania!”
Panggil sang ibunya teriak.
“Iya bu.”
Sania yang
sedang sibuk menulis dari mulai saat setelah melaksanakan sholat shubuhnya,
langsung saja berhenti. Berganti berlari menuju sumber suara ibunya, yaitu
dapur. Sedikit menunduk takut, saat berpapasan melihat bapaknya yang sedang
duduk di kursi langganan beliau sambil menkmati segelas kopi yang sudah
disediakannya.
Rasanya sebenarnya
Sania hanya sekedar menginginkan untuk tersenyum menyapanya. Layaknya saling
memberikan kenyamanan dan kehangatan antar sesama keluarga. Namun, semuanya
seperti mustahil. Keadaan yang telah merubah segala-galanya. Harapan itu
hanyalah seakan menjadikannya sakit dan sesaknya hati. Karena katanya, dunia
seakan sudah memberitahukan, “Laki-laki di atas, perempuan di bawah ataupun
boleh juga laki-laki di depan, perempuan di belakang”.
“Nah Sania, itu
kamu langsung masak saja sayur kangkung itu yah! Ini sudah ibu siyap-siyapin
bumbu-bumbunya. Sama nanti ayamnya ini tak kecapin ajah. Kakakmu kan sebentar
lagi sampai rumah. Dia suka banget sayur kangkung sama ayam dikecapin. Ibu tak
yang bikin bumbu-bumbunya ajah.”
Seperti
sekarang ini Sania di dapur, langsung saja melaksanakan apa yang disuruhnya.
Hati dan pikiran sebenarnya selalu saja ingin memprotesnya. Namun pilihan
seakan sudah tidak ada lagi. Tak ada lagi yang akan mau mendengarkan
protesannya. Dan hasilnya akan selalu kesia-siaan. Terus saja begitu.
“Assalamu’alaikum.”
Hingga
tiba-tiba suara kakaknya Rahman pulang.
“Wa’alaikumsallam.”
Lain dari yang
lain baik ibu maupun bapaknya yang menyapanya dengan senang. Sania tampak
muram, dan malah tersirat dalam hati penuh kesal kepadanya.
“Sania buatin
minum segera! Kakakmu mesti kan capek dari perjalanan yang jauh.” Perintah
bapaknya.
Sania langsung
saja melaksanakan tanpa menanggapinya. Hati seakan semakin teriris-iris. Namun,
kepada siapa dia bisa mengeluh. Hanya diri sendiri yang mampu menerimanya. Dan
padahal, diri sendiri ini yang sedang membutuhkan obatnya.
Setelah
membuatkan minum Sania tak menghiraukan lagi tentang kedatangan kakaknya. Dia
langsung kembali ke dapur, dan meneruskan kembali masakannya. Dalam hatinya
masih saja terus berkecamuk sendiri. Terbayang hari-harinya yang selalu
diingatkan oleh bapak maupun ibunya. Perempuan itu harus bisa masak, perempuan
itu tugasnya di belakang. Gak usah sekolah tinggi-tinggi, toh akhirnya bakal di
dapur juga.
Bahkan Sania
pun teringat, pernah suatu saat pagi-pagi kakaknya Rahman niatnya mungkin akan
memasak. Namun, saat dia baru memegang wajan dan bapaknya kebetulan melihatnya.
Langsung saja bapaknya memanggilnya dan memarahinya, “Itu masak! Masa ada
perempuan di rumah, kakakmu cowok suruh masak”.
Jika terlahir
perempuan mengharuskan untuk seperti keadaanya sampai sekarang. Lalu kenapa aku
sebelum lahir tak dapat untuk memilih menjadi terlahir sebagi laki-laki saja.
Yang bisa menjadi manusia bebas dan juga pemimpin. Tak selalu seperti sekarang,
yang kenyataanya hanya bisa meratapi. Seakan tertekan dengan kehidupan. Tak
berlakukah keadilan? Yang padahal apa bedanya aku, perempuan dengan laki-laki.
Toh sama-sama manusia. Batinnya.
Setelah
menyelesaikan tugasnya memasak dengan sendirinya, tanpa menunggu ibunya lagi.
Sania langsung saja pergi berjalan cepat menuju kamarnya. Mengabaikan
keluarganya yang sedang berbahagia dalam penyambutan kedatangan kakaknya.
Menghempaskan
badannya ke kasur di dalam kamarnya. Tengkurap dengan menyembunyikan mukanya
pada suatu bantal. Air mata lolos dari matanya dengan sangat mudahnya.
Mengucur, begitu derasnya tanpa bisa tuk dibendungnya lagi. Dan lagi-lagi, kepada
siapa dia bisa mengeluh? Bisa mendapatkan jawaban-jawaban dari
pertanyaan-pertanyaan yang kian menyiksanya. Selalu menyayat, membuat sakit
hati dan juga pikiran serta jiwa.
Jika benar
katanya kodrat perempuan adalah segala tugas rumah seperti, memasak, mencucuci,
mengurus anak. Namun, kenapa nyatanya dalam firman-Nya dijelaskan:
Dalam surat
Luqman ayat 14, bahwa wanita mengalami 3 macam tugas yang begitu istimewa dan itu merupakanlah jelas kepastiannya, merupakan kodrat dari Tuhan Yang Maha Esa, yaitu mengandung, melahirkan, dan menyusui.
Dan kebenarannya, tapi dunia seakan terus-terusan menghukumnya hanya karena dia terlahir perempuan. Seakan sudah takdir
yang bicara sendiri. Tak dapat lagi mengubahnya. Percuma. Dan lagi-lagi
pastinya terus saja selalu, hanya akan mendapatkan kesia-siaan adanya. Tapi
semoga meski dunia seakan hanya kejam padanya, berharap kebenaran mutlaknya akan selalu
hadir dan menyertainya. Dan tentunya
berpihak kepadanya.
Karena bukan
lagi katanya, tapi nyatanya. Sebenar-benarnya Allah SWT. pun telah menjelaskan
pada firman-Nya:
Yang artinya:
“Sesungguhnya aku tidak menyia-nyiakan amal orang-orang yang beramal di antara
kamu, baik laki-laki atau perempuan (karena) sebagian kamu adalah turunan dari
sebagian yang lain.” (QS. Ali Imran: 195).
Dan mengomtari
ayat tersebut, dari Tim Penerjemah Al Qur’an Depertemen Agama pun menyatakan bahwa
sebagaimana kaum laki-laki berasal dari laki-laki dan perempuan, demikian juga
halnya kaum perempuan juga berasal dari laki-laki dan perempuan. Keduanya
sama-sama manusia, tak ada kelebihan dari yang lainnya tentang penilaian iman
dan amalnya.
Sekian.
BIODATA PENULIS
Sri Hidayati dengan nama pena Hidayatisri. Lahir di Kebumen, 13 Agustus. Anak kedelapan dari delapan bersaudara. Tercatat sebagai mahasiswa aktif UIN Salatiga. Jejak bisa di temukan di Ig: @srihidayati0813_, email: hidayatisri0813@gmail.com, dan twitter: hidayatisri. Motto: “Sama-sama Manusia”.
Perempuan dan laki-laki di ciptakan sama, dan berhak atas perlakuan yang sama.
BalasHapusPerempuan dan laki-laki sama aja mba yang penting kita bisa berkarya dan berguna satu sama lainnya...
BalasHapusKodrat mungkin yg membedakan tpi ya harus saling mengerti dan menghargai satu sama lain itu yg lebih penting
BalasHapusYang membedakan laki laki dengan perempuan hanyalah fisik. Kecerdasan dan kemampuan berpikir sama. Salam ngapak. Gombong tempat ibu saya besar.
BalasHapusCerpen yang bagus kak..diselipin pesan agama didalamnya...aku mau donkk kalo ada kelanjutannya lagi hehe
BalasHapusSangat bagus buat dibaca
BalasHapusLanjut part 2 nya mbk
BalasHapusArtikelnya sangat bagus, Kak. Para perempuan harus baca ini.
BalasHapusMakasih kakak", untuk lanjut part yah? Boleh dicoba kyanya deh, di tunggu yah hhe
BalasHapus